Revolusi Mental Ala Jokowi Sebagai Koridor Pembentukan Karakter Bangsa


            Di tengah era reformasi yang sudah berlangsung lebih dari tujuh belas tahun ini, ternyata sudah membuat banyak perubahan bagi karakter bangsa Indonesia sendiri. Kemerdekaan untuk  menyampaikan pendapat, berserikat, dan berorganisasi secara terbuka sudah banyak diterapkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Namun, di tengah era reformasi yang notabenenya Indonesia sudah lepas dari masa Orde Baru yang mengungkung bangsa ini selama kurang lebih 32 tahun membuat banyak warisan Orde Baru masih mendarah daging seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. KKN korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak saja mendarah daging dan sudah menjadi hal yang lumrah bagi pejabat tinggi Negara dan daerah tapi juga bagi semua kalangan di suatu organisasi, partai politik, perusahaan swasta maupun milik Negara, bahkan di institut pendidikan sekali pun. KKN yang tinggi memang sudah terlihat pada saat era Orde Baru dan sampai sekarang punmasa pemerintahan Joko Widodo ditambah dengan premanisme, kekerasan, bahkan pelecehan yang kerap terjadi pada wanita dan anak-anak. Hal-hal tersebutlah sangat menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang sudah mulai jauh dari kata baik. Dalam hal ini moral dan mental bangsa ini sudah terkikis serta nilai-nilai budi pekerti yang sudah diajarkan sejak dini menjadi luntur dan hanya menjadi teori ‘omong kosong’ belaka jika tidak diterapkan.
            Untuk Fmengatasi permasalahan makro yang menyangkut moral dan mental bangsa Indonesia dalam hal ini adalah para penerus generasi bangsa pun sudah mulai terkikis mentalnya, perlu adanya suatu perubahan dan pergerakan yang cepat. Revolusi dibutuhkan untuk menata ulang dan memperbaiki mental bangsa ini mulai dari para pejabat pemerintahan yang banyak sekali melakukan KKN.
            Semangat revolusi pernah menggaung di negeri ini sejak zaman pemimpin tertinggi revolusi, Bung Karno. Bung Karno menanamkan revolusi untuk merebut  dan mempertahankan kemerdekaan. Kesuksesan awal dari revolusi di Indonesia adalah tercapainya kemerdekaan dan perlawanan dalam mengusir penjajah. Namun, indikasi kemerdekaan harus dibarengi revolusi lain yang pernah diungkapkan  Bung Karno dalam kutipan pidatonya saat berumur 61 tahun, “Bahwa revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua tahun. Bahwa revolusi Indonesia itu memang belum selesai. Bahwa revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tapi masih akan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peveum, dulur-dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, revolusi nasional, revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi social, revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh  tahun…” Terkait dengan revolusi yang disampaikan oleh Soekarno di atas, revolusi tersebut pastilah tidak terlepas dari ideologi Pancasila yang dimiliki Indonesia sebagai pedoman bangsa.
            Sejak Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014-2019, revolusi mental mulai diterapkan dan digencarkan disegala aspek. Revolusi  mental ala Jokowi terkait tiga hal utama yaitu kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya. Dalam tulisan saya kali ini, saya akan lebih membahas revolusi mental pada aspek pendidikan karena butuh perhatian khusus pada  pendidikan yang ada di Indonesia yang notabenenya sebagai pembentuk karakter bangsa yang beradab.
Pendidikan berkarakter yang sudah mulai digencarkan saat ini dikarenakan karakter bangsa ini sudah mengalami penurunan yang drastis secara makrokorupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, pelecehan seksual, dan kekerasan yang semakin tinggi dan secara mikrobullying, tawuran antar pelajar, kekerasan pada saat belajar mengajar, sistem kurikulum yang lemah dan proses  pembelajaran yang tidak kondusif yang akan berperan langsung pada pembentukan karakter bangsa (Nasional Building). Seharusnya dengan menerapkan revolusi mental yang dicetus oleh Presiden Jokowi membuat permasalahan makro dan mikro yang terjadi di dalam dunia pendidikan mulai memudar. Namun, seperti pidato yang sudah disampaikan oleh Soekarno, revolusi Indonesia tidak akan bisa selesai selama satu atau dua tahun. Seperti halnya revolusi mental yang di sampaikan oleh Jokowi, meskipun revolusi mengandung arti perubahan yang cepat, maksud sesungguhnya yang terkandung dalam kata revolusi mental adalah suatu revolusi yang  dilakukan oleh masing-masing individu masyarakat Indonesia untuk turut serta mencapai suatu perubahan mental dan menciptakan bangsa yang berkarakter dalam hal ini membutuhkan proses terus-menerus dan konsistensi yang tinggi karena perubahan karakter akan terlihat dan berdampak tidak satu atau pun dua tahun.
Pentingnya pendidikan karakter ini juga diungkapkan seperti kutipan dari Presiden Soekarno bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat”  dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society). 
Di Indonesia sendiri sudah diterapkan pendidikan berkarakter dengan memasukkan pendidikan berbasis  pancasila dalam mata pelajaran mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Tujuan mata pelajaran ini tentu saja untuk membangun karakter bangsa. Pelajaran pancasila yang sudah kita pelajari dan sampai saat ini pun masih  dipelajari di bangku perkuliahan sesungguhnya sudah berganti nama beberapa kali mulai dari pancasila, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), dan di ITB pun memiliki nama tersendiri dengan nama “Pancasila dan Kewarganegaraan”. Namun, sungguhlah ironis karena pelajaran yang sangatlah penting untuk dipelajari dan diayomi ini sering kali  dipandang sebelah mata oleh para pelajar sendiri dan presepsi pelajaran ini kurang menggembirakan di mata pelajar.
Revolusi mental yang sudah ditegaskan oleh Jokowi sejak awal pemerintahan beliau pada tahun 2014 sinkron dengan pendidikan berkarakter yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Kurikulum 2013 (K-13). Pada kurikulum 2013 yang diterapkan pada pendidikan dasar dan menengah, tidak hanya aspek kognitif yang menjadi penilaian, namun aspek afektif, motorik, dan skill-skill yang dimiliki oleh siswa turut dalam penilaian selain itu murid dituntut untuk aktif dan guru hanya sebagai fasilitator. Penerapan hal ini, bisa dikatakan adil dan turut andil dalam pembangunan karakter bangsa jika dilaksanakan dengan baik, terus-menerus, dan konsistensi disertai dengan pengawasan dari dinas pendidikan tiap daerah dan direktorat pendidikan. Namun, ada juga kontradiksi dengan penyelenggaraan K-13 yang membuat banyak pihak bersikeras agar Jokowi menghapuskan K-13 dikarenakan penambahan jam belajar yang kurang didukung dengan semangat guru dalam mengajar, penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (berkaitan dengan teknologi), pengurangan jam mata pelajaran bahasa  inggris, dan penghapusan mata pelajaran bahasa asing yang mana bahasa asing sangatlah penting karena pada 2016 Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Terlepas dari kontrovesi Kurikulum 2013, dari sisi positif yang terdapat pada K-13 seharusnya membuat pemerintahan Joko Widodo, dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan memberikan edukasi tambahan kepada para guru berupa moril agar para guru semakin bersemangat untuk menggencarkan pendidikan berkarakter ini yang bisa mengubah karakter bangsa. Selain itu, pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan seharusnya bisa disampaikan kepada para siswa oleh guru dengan cara yang menarik, unik, tidak membosankan, dan bisa dikaitkan pada contoh sehari-hari agar para siswa bisa menyukai pelajaran ini dan membuat pelajaran ini bisa menjadi pelajaran yang menggembirakan dan disambut baik oleh siswa.
Meskipun Kurikulum 2013 sudah ada sebelum masa pemerintahan Joko Widodo, inti dari revolusi mental sudah terkoridor dalam K-13 tersebut. Untuk mendukung Revolusi Mental ala Jokowi, tidak hanya guru yang memegang peranan penting dalam mendidik dan membentuk karakter anak-anak bangsa, namun juga lingkungan sekitar dan  keluargalah yang paling penting. Edukasi, afektif, dan skill seharusnya diberikan oleh setiap keluarga.
Melalui tulisan ini, saya berharap agar revolusi mental ini berjalan secara efektif, dapat mencetak anak-anak bangsa yang berkarakter kepancasilaan dengan nasionalisme yang tinggi, dan dapat menciptakan negeri dengan pemerintah yang bersih dari KKN. Untuk menjalankan revolusi mental, Indonesia butuh peran serta dari semua masyarakat agar keberjalanan dari revolusi mental dapat terus berlangsung meskipun beberapa tahun lagi Presiden Jokowi sudah tidak memimpin lagi negeri ini.








Daftar Pustaka
diakses pada 28 November 2015 pukul 20.30
diakses pada 28 November pukul 20.38
Revolusi-Mental-dalam-Lembaga-Pendidikan diakses pada 28 November pukul 20.41
pendidikan-karakter-keluarga diakses pada 28 November pukul 20.45

             

             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalu, Untuk Siapa Hati Ini Dilabuhkan?

‘Dia’ Memang Tidak Sempurna, tapi ‘Dia’ Tidak Pantas Disalahkan