‘Dia’ Memang Tidak Sempurna, tapi ‘Dia’ Tidak Pantas Disalahkan
![]() |
sumber : www.google.com |
Aku yakin sekali bahwa setiap orang di dunia
ini pernah merasakannya. Suatu perasaan dan suatu keadaan yang mana kita tidak
dapat menghindar dan tidak dapat mencegahnya untuk tidak datang. Namun, banyak
orang yang sering menyalahkan kehadirannya dan seringkali menjadikannya suatu
hal yang mengandung dosa. Padahal jika kita tahu bahwa ‘dia’ tidak pernah
salah, pasti ada suatu hal yang membuat kita sangat mensyukuri kehadirannya. Terlebih
jika ‘dia’ datang dan membawa suatu perubahan. Ya, motivasi perubahan pada diri
seseorang.
Tidak ada sempurna di dunia ini,
kecuali diri-Nya. Termasuk dengan ‘dia’ yang setiap orang rasakan. ‘Dia’ memang
tidak sempurna tapi ‘dia’ tidak pantas untuk disalahkan. ‘Dia’ datang untuk
memberikan rasa syukur kepada sang Tuhan karena ‘dia’ adalah salah satu bentuk
kesyukuran hidup.
‘Dia’.
Kini.
Hadir.
Rasa.
Itu.
Hadir.
Aku selalu menanyakan hal ini kepada
diri ini dan kepada Tuhan khususnya. Tuhan, apakah sebenarnya yang sedang aku
rasakan? Aku tidak mengatakan bahwa aku cinta. Aku tidak mengatakan bahwa aku
suka. Aku tidak mengatakan bahwa aku menyayanginya. Aku tidak tahu sama sekali.
Yang aku rasakan saat ini adalah saat aku berhadapan dengannya langsung, irama
detak jantungku tidak beraturan, kata-kataku seperti tertarik ke dalam
tenggorokan, mata ini seperti tidak bisa menatapnya, bagaikan ada perintah dari
dalam diri bahwa aku harus menundukkan pandanganku. Aku tidak bisa menatap
dirinya, Ya Tuhan. Aku tidak bisa menatap matanya yang teduh. Aku tidak bisa…
Tuhan, apa yang sedang aku lakukan? Apakah
yang kulakukan ini salah? Apakah yang kulakukan ini adalah perbuatan yang
benar?
Aku tahu diri ini harus dikendalikan
dari suatu hal apapun. Termasuk dikendalikan karena ‘dia’. Aku sedang belajar
memahami dan mengendalikan diriku. Aku tidak ingin terbuai karena ‘dia’, aku
tidak ingin khilaf karena ‘dia’, aku tidak ingin menangis karena ‘dia’, dan aku
tidak ingin berharap.
Aku terpaksa mengatakannya pada ibu.
Semoga ibu mengerti dan paham dengan diri anak gadisnya ini. Aku harap dengan
aku mengatakannya pada ibu, ibu akan menasehatiku tentang banyak hal. Ada satu
sentilan yang cukup mengguncang hatiku kala itu.
Jangan terlalu berharap.
Ya. Aku tahu risikonya, ibu. Maafkan anakmu
yang sudah berani untuk melangkah dan mengambil hatinya. Tuhan, apakah kau
sudah menakdirkan aku seperti ini? Apakah kau akan terus membiarkanku untuk berharap
dengan ‘dia’ yang sama sekali tidak pernah pantas untuk disalahkan? Berharap?
Sejujurnya saja dibalik harapan itu aku sedang memperbaiki diriku ini yang
memang mesti diperbaiki. Aku tidak mengubah diriku, aku hanya memperbaiki
diriku agar menjadi lebih pantas. Pantas untuk siapa? Maafkan aku, Tuhan.
Semoga saja niatku ini akan lurus dengan sendirinya.
Aku memang tidak sempurna, begitu
pun dengan hati dan perasaanku. Perasaanku tidak akan pernah sempurna tapi
perasaanku tidak patut disalahkan karena telah memilih satu hati yang
menurutnya benar dan akan dijadikan jalan untuk memperbaiki diriku ini.
Terimakasih untuk ‘dia’. ‘Dia’ yang
sempurna dan tak akan pantas untuk disalahkan. Andaikan terdapat kesalahan, itu
datangnya dari si pemilik ‘dia’. ‘Dia’ akan selalu hadir dalam hidup dan jika ‘dia’
itu baik maka ‘dia’ akan menjaga pemiliknya dan membuat pemiliknya akan
merasakan kehadirannya membawa suatu kebaikan.
Komentar
Posting Komentar