Good Bye, Sista and Prepare to say Hello, Bandung
Minggu,
15 Juni 2014
Sudah
semalam ini rumahku ramai tidak biasanya. Bukan hanya ada aku, ibu, ayah, dan
adikku saja yang biasa ada di rumah, tetapi saudaraku, tepatnya sepupu ibuku,
atau lebih tepatnya lagi tanteku. Namanya Dwi Ajeng Enggarwati. Aku biasa
memanggilnya Mbak Ajeng. Hari jum’at yang lalu, Mbak Ajeng datang bersama
dengan temannya, Mbak Diah. Mereka ini anak Universitas Brawijaya (UB) Malang
Fakultas Teknik Geofisika. Memang, rumah Mbak Ajeng ada di Blitar, tetapi untuk
saat ini dia datang bukan langsung dari Blitar. Mereka berdua datang dari Kota
Bandung. Sudah sebulan lebih lamanya ini Mbak Ajeng dan Mbak Diah berada di Bandung
untuk keperluan kampusnya, yaaa lebih tepatnya sih lagi ada tugas untuk proses
penyusunan skripsi. Aku senang sekali Mbak Ajeng akhirnya bisa berkunjung ke
rumahku untuk pertama kalinya.
Ya,
selain mereka berdua yang datang ke rumah, ada saudaraku, tepatnya sepupu
ibuku, atau lebih tepatnya juga dia adalah tanteku, Mbak Mira. Yang ku suka
bukan cuma Mbak Mira yang datang tetapi juga anak-anaknya, seperti Mentari dan
si kembar cowok-cewek, Bulan dan Bintang. Uhh gemes banget aku sama Bulan dan
Bintang.
Semalam,
rumahku yang mungil yang berukuran 96 meter persegi ini dipenuhi oleh sepuluh
orang. Well, aku senaaaaaannggg sekali jika ada saudara-saudaraku yang datang
terus menginap di rumah. Meskipun rumahku ini sederhana sekali, aku sangat
senang jika menerima tamu, apalagi tamu yang sama sekali belum pernah datang ke
rumahku seperti Mbak Ajeng dan kawannya itu.
Ini
sudah pagi. Artinya mereka semua sudah harus pulang. Mbak Ajeng dan Mbak Diah
yang sudah bermalam di rumahku selama 2 hari pun sekarang harus pulang kembali
ke Bandung dan Mbak Mira, Mentari, Bulan, dan Bintang harus kembali lagi ke
rumahnya, untung saja rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku.
Rencananya
sih, setelah mandi pagi dan sarapan ini aku dan ibuku akan mengantar Mbak Ajeng
dan Mbak Diah jalan-jalan ke Banten Lama, karena menurutku objek wisata yang
paling dekat dengan rumahku itu ada di Banten Lama. Di daerah Banten Lama ada
beberapa tempat bersejarah yang sudah cukup tua usianya bahkan sejak kurang
lebih 500 tahun yang lalu yaitu Masjid dan Menara Banten, Benteng Belanda;
Surosowan; Speelwijck, Danau Tasikardi, dan Klenteng (katanya sih merupakan
Klenteng tertua di Indonesia). Sayangnya meski tempat-tempat tersebut sangat
bernilai sejarah tetapi ironis, keadaannya sudah tidak baik lagi dan sepertinya
kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitar dan pemerintah setempat.
Sungguh ironis memang, saat aku tahu bahwa pelabuhan Karangantu yang dulunya
merupakan pelabuhan besar untuk tempat singgah para pelayar dan pedagang dari
segala penjuru dunia kini keadaanya kumuh dan dijadikan sebagai tempat penjualan
ikan-ikan, ditambah bau amis yang melayang di indera penciuman kita. Ditambah
rasa ironisku bertambah saat ku mengetahui jika di bekas pelabuhan ini adalah
dulu tempat untuk pertama kalinya Belanda mendarat di Indonesia yang awal
niatnya untuk mencari rempah-rempah di nusantara dan akhirnya berujung pada
penjajahan yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Saat
kami semua ingin menuju tempat yang diinginkan, sepertinya cuaca di luar tidak
mendukung rencana kami semua. Langit mulai memunculkan awan hitamnya. Aku rasa
kami semua tidak dapat pergi ke luar rumah dan… benar saja. Hujan mulai turun
dengan cukup deras dan dengan pasti kami tidak akan jadi pergi ke Banten Lama.
Padahal aku ingin sekali menceritakan pada Mbak Ajeng dan Mbak Diah tentang
kondisi Banten Lama yang syarat akan sejarah, namun melihat kondisinya saja
membuatku ironis. Yaaah dan akhirnya ibu memutuskan untuk mengantar Mbak Ajeng
dan Mbak Diah ke Terminal dengan menaiki taksi. Ok deh, tak apa! Kami menuju
arah Serang via tol Serang Barat.
Selama
dalam perjalanan aku sedikit membayangkan jika aku sedang di bis menuju Bandung
sendirian. Hhmm… beginikah rasanya jika harus hidup mandiri? Beginikah rasanya
jika hidup tanpa orang tua demi sebuah cita-cita besar? Demi sebuah tekad? Demi
sebuah mimpi? Demi sebuah pengharapan? Demi sebuah angan yang sejak dulu ku
tulis dalam sebuah kertas yang kemudian ku temple pada dinding kamar? Demi
orang tua agar mereka bisa melihat kesuksesanku dengan menitikan air mata
bahagia? Itu semua yang ku inginkan!
Yaaa
besok pasti aku akan merasakan itu semua saat aku berada sebulan di Bandung.
Tersenyum sajalah, jangan lakukan sesuatu dengan rasa terpaksa, jangan sampai
ada rasa kurang rasa syukur pada diri, jangan sampai bersuudzon pada orang
lain, jangan sampai mengeluh, jangan sampai menyesali keputusan yang telah ku
perbuat, dan jangan sampai membuat orang tua yang jauh disana kecewa denganmu.
Ya. Aku tidak boleh melakukan itu semua.
Aku
lihat jendela taxi yang masih basah karena air hujan. Dan gerbang tol Serang
Timur sudah terlihat dengan jelas dari arah kejauhan. Sebentar lagi harus turun
dan akupun melihat argometer taxi menunjukkan angka 55.000. Kami pun keluar
dari dalam taxi dan berjalan menuju samping pos polisi ditemani rintikan hujan
yang masih tetap turun. Ku lihat jalan masih saja ramai oleh kendaraan terutama
bis-bis besar antar kota maupun antar provinsi yang sepertinya akan selalu
tetap ramai hingga malam menjelang. 15 menit menunggu, bis jurusan Bandung
belum juga tiba di hadapan kami. Empat pasang mata kami pun tak lepas dari arah
tulisan yang ada pada bis. Nah, itu dia! Bis bertuliskan Merak-Bandung telah
muncul. Oh, rupanya bis Arimbi yang sejak dulu berwarna kuning itu. Mbak Ajeng
dan Mbak Diah pun segera pamit dan melangkah masuk ke dalam bis. Good bye, all!
Yaaah
sekarang aku harus pulang ke rumah berdua dengan ibu. Dan lagi-lagi hujan
gerimis pun belum mau berhenti, untung sajalah ibu membawa paying lipat. Aku
dan ibu memakai payung itu dan harus berjalan kurang lebih 100 meter untuk bisa
mendapatkan angkot dengan jurusan Royal.
Komentar
Posting Komentar