Salahkah Mimpiku Ini, Ya Tuhan?
Bagiku dunia ini seperti lahan yang
siap untuk ditanamkan berbagai macam tanaman. Ya, aku hidup semakin dewasa
semakin memiliki mimpi dan cita-cita yang tinggi. Terbang setinggi-tingginya ke
angkasa. Mungkin hal itu dikarenakan sejak kecil aku memang senang sekali
bermimpi dan berani menaruh harapan pada suatu masa yang dinamakan masa depan.
Sejak kecil aku sering berani mengatakan kepada kedua orangtuaku untuk
bercita-cita menjadi seorang dosen dan guru. Bagiku dahulu, dosen adalah guru
yang mengajar murid-murid yang sudah besar, entahlah, aku dulu tidak tahu
istilah mahasiswa ataupun istilah dunia perkampusan. Usia semakin bertambah,
pemikiran pun berubah, pola pikir mulai terbentuk saat SMA. Masa-masa SMP
sengaja aku tidak kuceritakan karena mimpiku masih belum berubah dan masih
merasa dalam zona nyamanku bersama semua mimpi-mimpi yang melekat di kepala dan
imajinasiku. Masa SMP aku manfaatkan untuk belajar dengan rajin, aku maksimal
selalu mendapat peringkat di kelas, bahkan waktu itu aku sempat memperoleh
peringkat pertama saat Try Out II, dan masa SMP aku manfaatkan aku untuk
membuka hatiku untuk menyimpan rasa pada kakak kelas yang masih saudara dengan
sahabatku, dan itulah salah satu penyemangatku, hahaha. Saat aku masuk pada
masa-masa SMA, pikiranku berubah. Aku ingin aku yang dahulu selalu belajar
hal-hal yang berbau IPA (Matematika, biologi, fisika, kimia) menjadi aku yang
ingin mencoba hal baru dan membuatku penasaran. Ya, aku menyukai dunia finansial
dan selling. Intinya, dunia
ke’berduit’an sih. Tapi maaf, uang memang penting, tapi tidak semua hal bisa
dibeli dengan uang, jiaahh contohnya saja kasih sayang. Awalnya aku bingung
darimana semua pemikiran ini terjadi, setelah aku berpikir dan mencari-cari
penyebabnya, ternyata aku sedang jatuh cinta dengan suatu sekolah tinggi ikatan
dinas sector akuntasi Negara, yups namanya STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara). Bapakku sering menceritakan kampus STAN, mulai dari ada saudara bapak
yang kuliah di STAN, biaya sekolah yang digratiskan, sampai dengan jaminan
bahwa kelak setelah lulus dari kampus ini akan langsung bekerja di pemerintah
(Kementerian Keuangan yang dulu aku pikirkan). Bagiku, itu sangatlah
menggiurkan. Bagaimana tidak? Jalan pikiranku terus menerawang sampai biaya
kuliah yang akan aku gelontorkan. Bagaimana bapak dan ibu akan pontang panting
cari pinjaman uang kesana kemari demi aku bisa kuliah. Bagaimana jika aku tidak
dapat melanjutkan pendidikan tinggi padahal sejak aku SDdan SMP sering
mendapatkan juara kelas tiga besar. Kala itu aku ingat betul ketika aku baru
masuk SMP. Ibuku sedang merekam adikku yang masih tiga tahun di sebuah tempat
yang asing. Aku lalu bertanya kepada ibu, tempat apakah itu. Ibu menjawab itu
tempat ibu pinjam uang tiga juta buat uang masuk sekolah kamu. Dalam hati aku sedih
karena aku pikir ibu bapakku yang sering
tertawa di rumah memiliki kesejahteraan ekonomi. Ternyata tidak. Padahal bapak
bekerja di sebuah perusahaan Jepang, ya, walaupun sebagai supir. Aku tetap
bersyukur saja bapak masih bisa bekerja walaupun dengan gaji yang pas-pasan.
STAN telah menggoda mimpiku. Aku
berpikir melalui STAN aku dapat cepat menjadi orang yang kaya dan sukses. Pola
pikirku dahulu mengatakan bahwa menjadi seorang dosen ataupun guru akan susah
atau sedikit lama untuk menjadi orang yang kaya. Imajinasiku mulai bermain-main
dengan arti kata “sukses” dan “kaya”. Kedua hal ini selalu aku kaitkan dengan
kesejahteraan keluargaku yang sangat ingin aku bahagiakan. Aku baru menyadari bahwa
aku berada dalam suatu kebimbangan finansial. Tapi setidaknya aku butuh satu
tahun lagi untuk berpikir dan mematangkan keputusanku untuk tetap melanjutkan
jejak kesuksesan dan menjadi orang kaya-karena lulusan STAN akan langsung cepat
bekerja di pemerintahan, meski tidak tahu gajinya, aku menanggapnya hal ini
menjadi highway untuk menjadi orang kaya-dan berani melepas mimpiku dahulu
menjadi seorang guru dan dosen. Waktu itu aku masih kelas 10 SMA dan masih bisa
memiliki kesempatan berubah pikiran kelak pada keputusan awalku dan godaan itu.
Bagiku, wajarlah jika seseorang
menginginkan sebuah kesuksesan dalam hidupnya. Sudah menjadi naluri bagi setiap
insan di dunia ini. Bisa meraih kesuksesan, meski sukses tidak selamanya
diartikan sebagai suatu keadaan dengan finansial yang sangat mencukupi, bahkan tidak
akan habis sampai tujuh turunan. Sukses juga tidak selama diartikan dapat
menguasai dunia dalam hal perekonomian, kepemimpinan, dan hal lainnya. Bagiku,
kesuksesan itu akan berbanding lurus dengan manfaatnya terhadap orang lain.
Seperti Pak Victor Asih bilang dan masih selalu aku ingat, “Orang kaya belum
tentu sukses, tapi orang sukses sudah pasti kaya.” Orang sukses biasanya
memiliki ekonomi yang pas-pasan, pas beli rumah, ada, pas beli mobil Pajero, ada,
pas beli motor Harley Davidson, ada hehehe itulah kata-kata beliau saat aku
masih jadi mahasiswa USB Sekolah Bisnis Gratis milik beliau.
Aku pun ingin mencapai kesuksesan
itu dengan caraku sendiri. Aku ingin kesuksesan itu datang padaku dengan lebih
cepat dan dengan perjuangan yang luar biasa, karena aku percaya kesuksesan yang
datang dari nol akan memberikan hasil yang lebih baik. Aku belajar banyak dari
setiap kegagalan yang datang pada diriku, ya, orang sukses pasti pernah
mengalami kegagalan. Itu adalah hal yang pasti.
Waktu semakin berjalan. Masa-masa
SMA menata pikiranku. Aku selalu bermimpi ingin menjadi seseorang yang sukses. Pada
waktu itu aku selalu mengarahkan arti sukses dalam hal finansial untk mendapat
tempat nomor satu. Lagi-lagi motivasi keluargalah yang menjadi penyebabnya. Aku
adalah anak pertama dan aku adalah cucu pertama dari pihak keluarga ibu dan
bapak. Sebenarnya aku tidak menjadikan status anak dan cucu pertama ini sebagai
beban hidup, tapi aku sering merasa saja jika aku tidak jadi “orang” aku akan
malu dan tidak bisa membuat bangga bapak dan ibu. Sudah tahulah, bapakku hanya
seorang supir dan ibuku waktu itu belum jadi seorang PNS (masih guru honor). Keluargaku
sering ada masalah dalam hal keuangan. Aku tidak mempunyai tabungan, begitu
pula bapak dan ibuku. Kami hanya mengandalkan gaji bapak yang kadang tersisa
sekian nominal karena harus melunasi hutang-hutang dan cicilan tiap bulannya.
Ah… Aku sudah tidak kuat lagi menahan air mata ini kala ibuku menangis karena
waktu itu ada masalah keuangan dan masalah ketidakjelasan pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil. Waktu itu aku masih kelas 3 SMP. Aku memutuskan diam-diam untuk
bernazar puasa selama satu bulan supaya Allah memudahkan ibuku menjadi seorang
PNS agar dapat membantu perekonomian bapak yang sebentar lagi akan pensiun. Ah…
kalau urusan keluarga aku mudah sekali menangis. Tapi aku selalu berdo’a, aku
bisa menjadi seorang anak yang berguna dan bisa memperbaiki perekonomian
keluargaku dan itulah aku ingin menjadi seorang yang sukses dalam hal
finansial, “Kebebasan Finansial untuk Keluargaku”…
Tapi, apakah mimpiku itu salah, ya
Tuhan? Aku memang seorang yang biasa-biasa saja. Aku hanya seorang gadis yang
keras kepala, terkadang membuat bapak dan ibu jengkel karena ulahku, dan kurang
merawat diri. Tapi dibalik itu semua aku memiliki suatu kekuatan dalam diri. Aku
akan berusaha mengatasi kekurangan-kekuranganku dengan kekuatan-kekuatan yang
aku miliki. Aku masih berani bermimpi besar, mau kerja keras, dan sangat
menyayangi keluargaku karena merekalah aku ingin sekali mencapai “kesuksesan
finansialku”… (to be continued)
Komentar
Posting Komentar