Memilih Warna Pelangi Itu Tidak Mudah, Ya Tuhan…
Semua keinginan dan mimpi-mimpi yang
sudah ada sejak aku SD dan SMP masih terus berjalan. Menjadi dosen dan guru
adalah cita-cita awalku sejak tahu tentang apa itu cita-cita. Menjadi seorang
dosen terdorong karena Pak Likku seorang dosen di Universitas Jendral
Soedirman. Waktu itu aku baru melihat wajahnya sekali tapi bapak sering sekali
menceritakan tentang Pak Likku yang bernama Gatot Heri Sudibyo itu. Pak lik
seorang dosen yang baik, rendah hati, dan sopan. Yang aku ingat dari Pak Lik
ini adalah ketika pak lik disuruh bapak membopong kasur untuk dibawa ke rumah
sakit. Dengan sigap pak likku ini membopong kasur lipat dengan tubuhnya yang
kecil. Duh, pak dosen…
Apakah
cita-cita dan impian itu sama? Apakah ada batasan dalam bermimpi? Apakah mimpi
dapat berubah seketika? Apakah impian besar akan membuat diriku berubah? Apakah
aku salah saat aku bermimpi besar?
Pelangi itu indah. Namun bagiku,
pelangi akan lebih indah jika aku bisa melihatnya bersama orang-orang yang aku
sayangi. Inilah analogi ketika aku bisa berbagi dengan orang-orang sekitarku
terutama keluargaku. Ketika aku mencapai sebuah kesuksesan− kesuksesan ini seperti pelangi
yang indah dan aku bisa bahagia jika melihat pelangi tergambar jelas di langit−aku bisa memberikannya untuk
orang-orang yang aku sayangi−keluargaku. Ibu, bapak, dan adikku. Namun, sebelum pelangi itu ada di
langit, haruslah ada hujan atau gerimis agar warna-warna itu bisa terbiaskan,
sama halnya ketika aku akan mencapai
sebuah kesuksesan, butuh impian yang sebagai pemicunya. Aku sudah lakukan itu,
berarti aku tinggal menunggu pelangi itu muncul. Aku tidak tahu sampai berapa
lama aku menunggu. Apakah aku harus menunggu dengan cara diam? Oh tidak, aku
tidak akan menemui pelangi itu jika aku hanya diam di tempat. Aku mengharapkan
adanya pelangi disaat langit sedang terang benderang. Sulit.
Masa-masa usia tujuh belasan adalah
masa yang paling menyenangkan. Bagiku, menyenangkan disini karena aku bisa memilih
apa yang aku suka dan aku akan terima suatu saat nanti. Masa kelas dua SMA
adalah masa yang paling penuh dilemma bagiku. Saat kawan-kawanku masih belum
gundah untuk menentukan pilihan aku sudah curi start untuk bergalau ria. Namun,
aku sedikit terhibur karena tiga semester berturut-turut aku mendapat peringkat
satu di kelas. Aku boleh sedikit bangga karena aku bisa sekolah di SMA nomor
satu di kotaku. Alhamdulillah… Namun, tetap saja. Bagiku, peringkat kelas bukan menjadi jaminan
sepenuhnya untuk bisa melepas kegalauan
karena “Seleksi SNMPTN”.
Ya, pada sekitar satu tahun yang
lalu hatiku seperti keras untuk mengikuti seleksi masuk STAN. Bahkan aku
berniat untuk tidak mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi via undangan
(SNMPTN). Aku sudah membulatkan tekad untuk meraih kesuksesan itu dengan
bekerja di Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan bersekolah di STAN,
awalnya. Namun, aku sudah menentukan pelangi itu. Aku sudah tidak memutuskan
untuk meraih pelangiku yang lama. Banyak pertimbangan, banyak masukan, banyak
nasihat, dan banyak suruhan. Kebimbanganku luar biasa. Melawan hati atau
mengikutinya?
Semester empat dan lima aku kembali
meraih peringkat satu di kelas. Aku merasakan kenyamanan sesaat ini. Entah
kenapa aku secara pelan-pelan ingin melepaskan pelangi lamaku, STAN. Sepertinya
aku terjebak dalam safe zone. Aku selalu bertanya pada ibu dan bapakku tentang
dunia perkuliahan. Bapak dan ibuku bukan tipe orangtua yang suka memaksakan
kehendak anaknya, walaupun mereka tahu aku adalah seseorang yang keras kepala.
Mungkin karena alasan itu mereka tidak berani untuk memaksa dan mengatur hal
ini padaku. Aku akan berontak ketika keinginanku dikekang dan dicegah.
BERONTAK. Namun, aku ingat bapak pernah memberiku saran agar aku melanjutkan
kuliah di dunia teknik. Aku tidak suka teknik, aku tidak suka fisika dan aku
menyadari bahwa aku sangat lemah dalam mata pelajaran fisika. Tapi, bapak tidak
banyak membahas tentang “teknik” itu lagi. Mungkin bapak takut hal yang serupa
terjadi pada anaknya sendiri. Ya, bapak juga sempat berontak kepada ibunya
karena keinginannya dikekang oleh ibunya. Aku sama seperti bapak, berwatak
keras jika sudah menyangkut pilihan. Aku bertanya kepada ibu. Ibu selalu
menjawab terserah kamu, terserah kamu, dan terserah kamu. Sebenarnya serba
salah juga jika orang tua mengatakan terserah kamu, karena aku khawatir ibu
tidak meridhoi pilihanku. Semakin bimbanglah diriku.
Tidak cukup sampai orangtua, aku
bertanya pada bulik dan pak likku. Buk wik dan Pak di. Mereka adalah bibi dan
pamanku yang paling baik dan bersedia membantuku. Dalam hal ini aku meminta
bantuan mereka dalam bentuk saran mengenai pilihan. Pak di pernah berbicara
kepadaku untuk melanjutkan ke STAN.
Waktu itu sangat tertarik dengan segala macam keuntungan jika aku bisa
bersekolah di STAN. Pastinya, aku segera melihat pelangi itu di masa depan jika
aku berada di STAN dan kemudian lulus. Pelangi itu akan muncul karena hujan
akan segera reda. Impianku menuntunku
untuk segera meraih pelangi. Namun, pelangi sangat berbagai macam
warnanya, merah jingga kuning hijau biru ungu. Kesuksesan itu bisa datang jika
aku bisa kuliah di STAN atau di tempat lain. Tapi aku masih belum tahu maksud
dari “tempat lain”.
Semakin hari, aku semakin menyadari
mengapa aku mulai melepaskan pelangi lamaku. Aku sudah berada dalam zona nyaman yang akhirnya aku mulai
tahu sebuah peluang. Ya, peluang masuk perguruan tinggi. Saat nilai semester
tiga, empat, dan limaku sudah keluar aku tahu bahwa aku peringkat dua belas di
sekolah. Ranking totalnya. Jujur saja, aku tersugesti dengan guru-guru
Bimbingan Konselingku. Ucapan mereka mengarahkanku. Aku tahu niat baik mereka
ingin aku yang memiliki peluang untuk masuk perguruan tinggi ternama di
Indonesia, ITB bisa tercapai. Aku seketika
menginginkan peluang itu. Aku melihat dan membandingkan nilai semester
tiga sampai empat kakak-kakak kelas yang bisa tembus ITB. Wow, orang-orang
keren, pikirku waktu itu. Kenapa tidak aku coba saja jika itu memang peluang
terbaik? Peluang terbaik itu kan bernilai satu?
Mencermati setiap naik turunnya
nilai. Aku melihat kefluktuatifan nilai-nilai mereka. Tapi ada kok yang bisa
tembus ITB. Luar biasa. Aku mulai menyadari bahwa kakak-kakak kelasku yang
masuk ITB merupakan siswa-siswa dua
puluh besar di sekolah dan aku peringkat 12 di sekolah. Ada peluang ternyata. Ah… Aku jadi tertantang
untuk mencoba memutar stirku dari STAN menjadi ITB. Okey, aku akan memikirkan
kembali fakultas yang akan aku ambil. Sekolah Farmasi atau Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan. Jika dilihat dari nilai raporku tiga semester
berturut-turut aku memiliki peluang untuk diterima di ITB dan aku merasakan
kenyamanan saat aku belajar kimia dan biologi. Mungkin aku merasakan kenyamanan
itu karena aku lebih mudah paham dibandingkan dengan matematika dan fisika.
Sekolah Farmasi ITB, jurusan yang
serupa dengan sahabatku, Atu. Dia diterima di Sekolah Farmasi ITB 2013.
Sekolahku hanya mendapatkan satu jatah
Sekolah Farmasi. Semoga saja jatah itu jatuh ke tanganku. Bismillah… Nonik
Ristiawati asal SMAN 1 Kota Serang
sedang berkuliah di Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Waaaaah..
membayangkannya saja aku sudah mulai senang dan pastinya orangtuaku sangat
senang karena anak pertama mereka bisa diterima di salah satu perguruan tinggi
ternama. Aku juga ikut senang. Aku perlahan-lahan bisa mengubur cita-citaku
untuk sekolah di STAN. Say goodbye to STAN :”)
Banyak alasan ketika aku memutuskan
untuk ITB. Banyak sekali. Jujur saja aku sulit menerangkannya. Hal ini mengenai
kebahagiaan orangtua, peluang, sugesti, dan gengsi. Aku yang keras kepala
ternyata bisa luluh dan tak bisa mempertahankan pelangi itu sampai aku bisa
melihat pelangi itu di langit masa depan. Tapi, aku sangat menyayangi
orangtuaku. Aku ingin membuat mereka tersenyum bangga andaikan aku bisa
diterima di ITB. Berat memang, tapi semoga keputusan ini tidak salah. Aku yakin,
dibalik peluang, pengorbanan, dan gengsi itu akan bisa dipertanggungjawabkan
oleh diriku sendiri.
Baiklah, pelangi baruku menggantikan
pelangiku yang lama. Aku berharap yang terbaik, semoga Tuhan mengizinkan
pelangi baru terlukis indah di langit masa depan. Aku tahu Tuhan mengerti
betapa sulit aku memilih warna pelangi itu…
(to be
continued in Mengayuh Sepeda Tanpa Berhenti)
Komentar
Posting Komentar