Wajah Semu Paling Indah
Ketika mata
ini diam-diam mengamati
Kepala mulai
menunduk
Telinga
menangkap berbagai suara dari berbagai pita suara yang bergetar
Suara alto dan
bass saling bersapaan, membalas
Pelan namun
terdengar syahdu
Lemah namun
terdengar bijaksana
Lingkaran
manusia sedang beramal
Diskusi
terindah pertama dalam hidupku
Ya, indah
memang
Ini kan memang
bulan Ramadhan
Tapi hati ini
terlalu kecil untuk bisa menatapnya lebih lama
Dia hanya
menunduk diantara belasan wanita-wanita berkerudung
Ya…
Dia…
Mungkin hidup ini akan hambar
rasanya jika kita tidak memiliki kisah romansa. Aku pun pernah merasakannya.
Ya, aku masih perempuan normal kok wkwkwk. Naluri kewanitaanku mulai aku sadari
pada saat aku menginjak kelas 12 SMA. Hhmm apakah aku mengalami keterlambatan
pubertas? Entah lah. Tapi memang aku akui, aku kurang terbiasa untuk membicarakan seorang laki-laki yang aku
suka karena aku akan jauh lebih nyaman jika aku merasakannya sendiri saja. Bukan
berarti aku tidak mau berbagi cerita loh ya… Aku agak pemalu soal ini karena
terlalu privat. Begitulah…
Kisah SMA bagiku hal yang
biasa-biasa saja. Mungkin beberapa orang sering mengatakan bahwa masa SMA
adalah hal yang paling indah. Benar juga sih, indah disini sangatlah relative. Aku
tidak tahu ukuran kata “indah” untuk setiap orang. Yang jelas apa yang aku alami dan teman-teman alami akan
sangat berbeda. Komposisi indah dan kebahagiaan pun akan berbahagia. Apa ini
karena pada saat SMA aku kurang bergaul? Kurang membuka diri terhadap lingkungan? Kurang membuka
pikiran tentang pentingnya penyemangat hidup (maksudnya disini adalah cemewew,
hohoho). Baiklah, semua pertanyaan itu memiliki jawaban. Dan jawabannya adalah
iya, benar sekali, exactly. Semasa SMA aku terlalu membiasakan diriku untuk
mementingkan akademis tanpa mementingkan nilai hardskill. Jujur saja, aku baru
mengenal kata “hardskill” pada saat kuliah. Andaikan aku tahu bahwa hardskill
sangatlah penting dan memiliki peran yang mendukung dalam semua aspek “berkesiswaan”
maka aku akan menggali setiap hardskill yang ada pada dalam diriku. Ah… Mungkin
aku terlalu menyibukkan diri untuk mengerjakan soal-soal dan belajar setiap
harinya tanpa memperdulikan kegiatan organisasi, berteman sebanyak-banyaknya,
dan mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang keren-keren di SMA. Jika aku sudah
mengenal kata “ambis” saat masih SMA maka aku akan menilai diriku keambisanku
adalah 9 dari 10. Huaaaaaa betapa ambisnya diriku tanpa disertai pengembangan
hardskill, seperti butiran debu. Mungkin bisa dibilang, aku menonjol dibidang
akademik tapi aku tidak memiliki kemampuan hardskill pada masa SMA. Benar-benar
masa keambisiusanku 2011 – 2014. Apalagi keambisiusan itu didukung dengan masa
yang mendekati Ujian Nasional dan SNMPTN Undangan, ah sudahlah, rasanya untuk
keluar rumah untuk sekadar beli pempek kesukaanku adalah suatu hal yang
membuang-buang waktu. Tapi, aku berani bersumpah, sejujurnya saja aku tidak
ingin membiarkan itu terjadi jika aku tahu betapa pentingnya organisasi
disamping belajar dan mengejar prestasi akademik.
Kurang bergaul? Hhmm… apa mungkin
inilah yang menjadi sebab aku berkepribadian Introvert. Aku tidak pernah
mengikuti test kepribadian pada saat SMA. Namun, aku bisa merasakan saat aku
sedang bersama dengan teman-teman yang bukan menjadi sahabat-sahabatku. Energy di
dalam tubuhku serasa lebih cepat habis. Rasanya baru kumpul dua jam dengan
mereka tubuhku seperti kekurangan cairan tubuh dan maka dari itu saat kumpul
bersama mereka aku selalu membawa Pocari Sweat, wkwkwk. Tapi, seriously memang
ini sering terjadi pada saat masa-masa SMA. Aku kurang bisa berkomunikasi
dengan baik dengan semua orang, hanya orang-orang tertentu saja. Aku hanya
ingin bergaul dengan sahabat-sahabatku yang tersebar diberbagai kelas, karena
karakter teman-teman kelasku kurang bisa aku terima. Dengan alasan aku seorang
introvert aku membenarkannya. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Aku yang
dulu adalah seorang gadis peringkat kelas yang kurang percaya diri, tukang galau, dan kurang bisa bergaul
dengan baik. Di kelas saja aku hanya akrab dengan beberapa orang saja. Sisanya aku
hanya berteman biasa dan hanya akrab kalau sudah ada tugas kelompok dan setelah
itu biasa-biasa saja. Malahan, ada teman sebelahku kelas XII IPA 1 yang tidak
mengenal diriku dan mengira bahwa diriku itu anak baru. What?!?!?!? What the
f*ck hahaha. Sepertinya peringkat pertamaku di kelas ini useless. Aku tidak
dikenal orang huhuhu sedih. Aku menyadarinya sepenuhnya. Tapi apalah daya, aku
terus menyalahkan diriku sendiri karena kemampuan komunikasiku kurang baik? Oh tidak!
Aku bukan tipe orang yang suka menyalahkan
diri terus menerus. Mungkin aku dilahirkan sebagai orang yang introvert
tapi aku sangat berharap suatu saat nanti aku bisa menjadi seorang yang
ekstrovert, supaya lebih bisa bergaul dengan orang, berkomunikasi dengan baik,
dan bisa dikenal orang hehehe. Okelah, aku akui saja dengan legowo, aku adalah
seorang cupu level 2 dari skala 5. Bhaaak!
Cemewew? Gebetan? Doi? Pria idaman?
Pacar? Calon suami? Ah… kata-kata apa itu?
Sepertinya aku baru mengenalnya dan baru melihat dari kamus bahasa Indonesia
untuk menghindari kesalahan tafsir. Inilah bagian yang ingin aku bahas lebih
dalam pada cerita kali ini…..
Aku pernah membayangkan pada saat
SMA aku akan bisa berpasangan (bukan pasangan kelompok, bukan partner
presentasi, dan bukan partner in crime) dengan seorang laki-laki yang pintar,
pengertian, dan wajah yang enak dipandang (nggak jelek dan nggak ganteng
intinya kalau dilihat nggak bikin nafsu makan berkurang). Aku menunggu kurang
lebih dua tahun, ternyata semua ini hanyalah angan belaka, bahakakak! Tapi terus
terang saja, keinginan untuk berpacaran ada namun tidak sebesar pada saat
keinginanku untuk terus mendapat peringkat kelas, iya, sudah aku bilang kan,
aku adalah seorang yang memiliki ambisi. Terkadang aku tidak memikirkan
bagaimana perasaanku sendiri termasuk perasaanku untuk menyukai lawan jenis,
padahal itu kan hal yang wajar untuk umur tujuh belas tahun. Malahan jika aku
sedang menyukai seseorang, hati ini langsung menstimulasi otak untuk melakukan
pengereman agar aku tidak kebablasan menyukai orang tersebut dan akhirnya lupa
belajar, lupa mengerjakan tugas, prestasiku melorot, tidak mendapatkan
peringkat, dan akhirnya tidak mendapatkan jalur SNMPTN. Oh no!!! Aku tidak
mudah melepaskan apa yang sudah aku inginkan dan aku anggap sebagai hal yang
penting. Belajar dan mendapat peringkat. Sampai segitukah hatiku sehingga aku
harus mengalah pada perasaanku sendiri demi mengejar ambisiku? Jawabannya iya. Tapi
aku ikhlas dan aku tidak lelah kok. Toh, ini demi orangtua dan demi keluargaku,
demi mengangkat derajat keluargaku. Untuk apa berpacaran jika efeknya tidak
baik dan akhirnya akan menjatuhkanku sehingga membuat orangtuaku kecewa padaku?
Namun, jika berpacaran tidak membuat efek buruk? Gimana? Ah… Nggak tahu!!
Aku juga tidak mudah dekat dengan
seorang lelaki pada masa-masa SMA. Yang menjadi teman dekat menurutku dia
memiliki kesamaan pemikiran denganku, bukan pemodus, bukan seorang picky (yang
sifatnya eksis, gahol, and tajir gelaaa), dan pastinya dia tahu sifatku. Teman laki-laki
yang aku dekat di kelas adalah Timothy,
Rendy, dan Ibas. Sisanya? Akan menjadi teman dekat jika ada tugas kelompok dan
presentasi. Hhmm seperti inikah diriku yang sesungguhnya? Padahal berteman itu
seharusnya pada siapa saja. Mungkin inilah yang dinamakan krisis pertemanan dan
krisis relasi. Mungkin itulah penyebab kedua aku belum berpacaran dan malas
berpacaran hingga telah menginjak kelas dua SMA. Teman pun bisa dibilang masih belum banyak. Tapi, apakah
jika ingin berpacaran butuh teman banyak? Temanku saja bisa berpacaran
tapi dia seorang yang pendiam? Bagaimana
dia bisa sedangkan aku tidak?
Tidak ada rasa keagresifan pada
diriku. Aku tidak ngebet pada seorang laki-laki. Rasa untuk bisa berpacaran
memang pernah ada, tapi itu jauh lebih kecil rasa untuk bisa tembus ITB,
pelangi baruku yang siap menghiasi langit masa depanku…
Galak. Penyebab ke 3. Aku dicap
sebagai cewek yang galak. Hal itulah yang membuat aku malas berpacaran dan
akhirnya mengantarkanku pada intensitas jomblo yang cukup tinggi. Tapi meski
begitu aku sangat menikmatinya, menikmati disetiap sela sela kesendirianku. Tapi
aku suka membuatku rishi adalah saat ibuku menanyakan “pacar” kepadaku. Aku kaget
banget, sumpaaah! Apa-apaan ibu ini? “Kamu udah punya pacar, ya?” Zzzzzz Tuhan,
bantu aku menjawabnya…
Tuhan
Maha Adil… Seriously, God is fair. No doubt on him, just be patient because
your patience will make you to be a better woman.
Jika
cinta itu indah, ambillah keindahan itu. Yang aku tahu cinta itu
memberikan spirit dan jika cinta itu
membuatmu berdosa bukan cinta namanya…
Bulan Ramadhan yang (indah)…
Bulan Agustus 2013, tepat aku
menginjak kelas 12 SMA. Aku adalah anak rohis (kerohanian islam) di sekolah.
Karena sekarang lagi bulan puasa dan tradisi pesantren Ramadhan atau yang biasa
disebut pesantren gledek masih ada , jadi ya sebagai anggota rohis harus
melaksanakan acara ini. Seperti biasa setiap hari kita mengundang pembicara,
tapi untuk hari ini aku tidak tahu siapa yang akan mengisi acara ini karena aku
bukan anak acara (alesan aja, padahal emang nggak tahu). Ya sudahlah, bagianku
kali ini adalah sebagai penertib saja yang kerjanya menegur anak-anak yang
berisik. Aku duduk di paling belakang bersama dengan panitia yang lain menunggu
siapa pembicara kali ini. Ah sial… Suara mcnya kecil banget.. Samar, semu.
“Ganteng banget, ganteng banget…”.
Suara teman disebelahku bikin aku langsung nengok ke depan, ke arah pembicaranya. Mungkin jarakku
dengannya yang jauh membuat mataku harus bekerja keras memfokuskan pada
wajahnya yang terlihat sedikit semu dan samar. Oh ini toh pembicaranya… Subhanallah… Hahaha
Inikah surga dunia, ya Tuhan? Mungkin kalau ada orang seperti ini yang
melamarku, maka pernikahannya akan dilaksanakan di akhirat, bhaakk!
Namanya Zafran, Teknik Sipil ITB
2010. Dia adalah mantan ketua rohis di sekolahku. Menunduk diantara belasan
wanita muslim pada saat briefing acara mentoring. Entahlah, menunduk karena sedang
memainkan ponselnya, berzikir, grogi karena harus berhadapan dengan banyak
akhwat atau dia satu ruangan dengan mantannya waktu SMA? Entah lah…
Aku mencoba menatap Kak Zafran, kini
dengan kepala terangkat kemudian menunduk kembali. Teman disamping berbisik
kepadaku sambil mengatakan “Ya Allah, subhanallah banget ya, nunduk terus…” Aku
Cuma menimpali dengan kata-kata “iya ya, subhanallah banget…”
Diam-diam aku terus membenarkan
perkataan Viana. Apa? Dia di I-T-B? Wah… Setelah briefing selesai aku masih
terus mengingat-ingat wajah Kak Zafran.
Perawakan dengan tinggi yang tidak terlalu semampai namun dengan charisma yang
luar biasa. Wajahnya putih bersih dan cara berpakaian yang rapih. Apa semua
orang-orang di ITB bergaya seperti Kak
Zafran?
Ya
Tuhan… apakah ketika aku menatapnya diam-diam adalah perbuatan dosa? Tapi kan
aku Cuma mengamatinya saja. Ah, tidak! Aku sedikit mengamatinya secara
lekat-lekat. Cukup lama sih… Tapi kan dia nggak tahu kalau aku dari tadi terus
menatapnya? Apakah aku tetap berdosa? Apakah aku menatap Kak Zafran karena dia
membawa nama ITB? Tidak juga! Aku akui wajahnya telah memikat diriku. Aaaaaa…
Tidak tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Kalau
suatu saat nanti kamu bertemu dengannya kembali di ITB, apakah kamu akan
menghindarinya?
Sekarang
aku tahu, dibalik wajahnya yang semu tersimpan keindahan. Tapi… jangan biarkan
aku berdosa karena terus menatapnya, Ya Tuhan…
Komentar
Posting Komentar